WALI SONGO
Peranan Wali
Songo dalam Peradaban Islam di Indonesia.
Ada sembilan
ulama yang sangat berjasa dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Mereka
dikenal dengan sebutan “Wali Songo”
Wali Songo
mengambangkan agama Islam menjelang dan setelah runtuhnya kerajaan Majapahit,
atau sekitar abad ke-14 sampai abad ke-16. Dalam Babad Tanah Jawi dikatakan
bahwa dalam berdakwah, para Wali ini dianggap sebagai kepala kelompok mubaligh
untuk daerah penyiaran tertentu.
Selain
dikenal sebagai ulama, mereka juga berpengaruh besar dalam kehidupan politik
pemerintahan. Karena itu, mereka diberi gelar “Sunan” (Susuhunan; junjungan)
gelar yang biasa digunakan untuk para raja di Jawa.
Maulana
Malik Ibrahim (1)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim
As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal
abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian
rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak,
ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana
Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini
sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Maulana
Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas
tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua
putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali
Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri
itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan
keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa
orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih
berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah
Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang
dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu
menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik
Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai
tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal
dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek
Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat
bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya,
yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda
krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat
belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini
terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel
(2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal
dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel
sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah
Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota
Wonokromo sekarang) Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau
Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440,
sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di
Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit
menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting
salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya
itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi
penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25
kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani
lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya
Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan
Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan
Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia
merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut
menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan
mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para
santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa
dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para
santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman
akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh
ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi,
tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak
berzina.” Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Giri
(3)
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias
Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada
1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan
dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri
raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut
anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma). Ayahnya adalah Maulana
Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil
meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena
itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat
dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai.
Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa
Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia
dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat
pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan-
memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun
berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton.
Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu.
Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak
sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat
dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia
diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri
Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran
Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan
Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai
penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura,
Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan,
Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari
Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam
ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga
pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran,
lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula
Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran
Islam.
Sunan Bonang
(4)
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu
Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir
diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri
seorang adipati di Tuban Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga.
Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen,
Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan
Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih
halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang
mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal
itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan
wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang
dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke
masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang
diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang
mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan
Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai
sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk
menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah
tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita
1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan
Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan
Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan
Kalijaga (5)
Dialah “wali” yang namanya paling banyak
disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah
Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit,
Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam Nama
kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama
panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden
Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang
disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun
Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan
bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan
kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”.
Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang
menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan. Masa hidup Sunan
Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546
serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia
ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid
adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan
mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung
“sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat
toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti
sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami,
dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan
sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan,
serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa,
perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi
Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta
masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat
efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga.
Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu
-selatan Demak.
Sunan Gunung
Jati (6)
Banyak kisah
tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah
bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu
bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman.
(Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan
kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai
Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah
Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari
Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari
para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya
Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan
Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan
demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja
Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan
atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang
lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa
jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana
Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa
setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut
yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan
Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu
diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati
wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah
Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari
arah barat.
Sunan Drajat
(7)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan
Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan
Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M Sunan Drajat
mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik,
melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau
Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer
ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa
Drajat, Paciran-Lamongan. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat
mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal.
Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang
dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk,
di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada
yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’. Sunan Drajat juga dikenal sebagai
seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak
memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Sunan Kudus
(8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan
Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka.
Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang
berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima
Perang Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke
berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul.
Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada
budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali
–yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk
teguh-menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan
memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur
masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya.
Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di
halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati.
Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al
Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat
tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga
menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri,
sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan
yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah
seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi
Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah
kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan Muria
(9)
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri
sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah
Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng
Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus Gaya berdakwahnya banyak
mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan
Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota
untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya. Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam
konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi
yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi
pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan
Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar