Selasa, 07 Juni 2016

SEJARAH KI BAHU REKSO DAN RANTAN SARI

Pada jaman dahulu kala di sebuah desa Kalisalak hiduplah seorang gadis cantik jelita yang bernama Dewi Rantan sari anak dari Mbok Rondo, karena kecantikannya tersebut maka Sultan Mataram yang bernama Sultan Agung Hanyokrokusumo jatuh cinta kepada Dewi Rantan Sari. Ia menyuruh Bhahurekso yang biasa dikenal bernama Joko Bau anak dari Ki Agung Cempaluk dari Kesesi untuk melamar Dewi Rantan Sari.
Sesampainya di kediaman Rantan sari, Bhahurekso terpesona dan jatuh cinta kepada Dewi Rantan sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari, begitu pula sebaliknya Dewi Rantan Sari jatuh cinta pada Bhahurekso. Akhirnya Bhahurekso melamarnya untuk dirinya sendiri tanpa sepengetahuan Sultan Mataram yang mengutusnya, dalam perjalanan pulang menuju Mataram dia terus berfikir bagaimana caranya bicara denagan Sultan Mataram atas peristiwa tersebut. Tidak lama dalam perjalanan tersebut Bhahurekso bertemu dengan gadis cantik lainnya yang juga yang wajahnya mirip dan secantik Rantan Sari di desa Kalibeluk anak seorang penjual serabi yang bernama Endang Wiranti, segera setelah muncul sebuah rencana di benak Bhahurekso, ia berencana membawa Endang Wiranti ke Mataram untuk diperkenalkan kepada Sultan Mataram sebagai Rantan Sari.

Akhirnya diputuskan Bhahurekso meminta Endang Wiranti menyamar menjadi Rantan Sari dan Endang menyetujui rencana tersebut, sesampai di kota Mataram Endang dipertemukan dengan Sultan, tidak lama Endang Wiranti jatuh pingsan, sultan menjadi curiga atas kejadian tersebut, setelah siuman dari pingsannya Sultan bertanya kepada Rantan Sari gadungan, Endang Wiranti menjadi sangat ketakutan dan akhirnya berterus terang mengatakan yang sesungguhnya bahwa sebenarnya dia ini bukan Rantan Sari yang dimaksudkan Sultan, tetapi adalah Endang Wiranti anak seorang penjual serabi dari desa Kalibeluk dia mengakui segala rencana yang disusun Bhahurekso untuk menipu Sultan Mataram karena Bhahurekso terlanjur jatuh cinta dan menikahi dewi Rantan sari gadis cantik yang hendak dipersunting Sultan Mataram.
Karena keterusterangan Endang Wiranti ini, Sultan sangat menghargai kejujuran Endang Wiranti dengan menghadiahkan sejumlah uang yang cukup banyak untuk modal meneruskan berjualan serabi dan diantarkan pulang ke Kalibeluk, Endang mohon pamit pulang dan mohon dimaafkan atas kejadian tersebut.

Serabi Kalibeluk - Batsang

Sebagai hukuman atas kejadian kebohongan tersebut Sultan menghukum Bhahurekso dengan tugas berat berupa membuka hutan lebat yang sangat berbahaya karena banyak dihuni jin dan setan dengan menebang pohon-pohon besar dan berperang melawan jin penghuni alas roban. Karena Bhahurekso bersalah dan menerima hukuman itu dan langsung sesampainya disana Bhahurekso menebang semua pohon besar yang ada di alas Roban.
Sebenarnya pohon-pohon besar itu adalah jelmaan para siluman yang dipimpin oleh seorang siluman raksasa yang mempunyai anak yang sangat cantik bernama Dubrikso wati, sebagai tanda menyerah atas kemenangan Bhahurekso yang sangat sakti itu raja siluman memberi hadiah berupa putrinya untuk dinikahi Bhahurekso. Bhahurekso menyetujui dan menikahi Dubrikso Wati dan memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Banteng.
Akibat dari penebangan pohon-pohon hutan yang besar-besar tersebut, bau, maka banyak bangkai-bangkai siluman berupa batang-batang (istilah Jawa) yang terapung di sungai, setelah hujan besar, sejak saat itu maka tempat tersebut disebut BATANG yang sekarang disebut Kota Batang.
Konon pada waktu Mataram mempersiapkan daerah-daerah pertanian untuk mencukupi persediaan beras bagi para prajurit Mataram yang akan mengadakan penyerangan ke Batavia, Tumenggung Bahurekso mendapat tugas untuk membuka alas roban untuk dijadikan daerah persawahan, alas roban yang merupakan hutan yang masih perawan, lebat dan menyeramkan di huni oleh Jin dan Siluman-siluman. Dan Tumenggung Bahurekso sempat mendapat gangguan oleh para penghuni alas roban tersebut, Para pekerja yang menebang hutan alas Roban banyak yang sakit dan meninggal namun dengan kesaktiannya gangguan itu dapat teratasi.
Setelah Alas Roban di buka tugas selanjutnya dari Bahurekso adalah mengusahakan pengairan atas lahan yang telah dibuka itu, kemudian beliau membuat bendungan yang sekarang dinamakan bendungan kramat. ketika bendungan itu telah selesai dibuat, bendungan selalu jebol dan dirusak oleh anak buah siluman Uling, hal ini memaksa Tumenggung Bahurekso untuk menyerang para Siluman Uling yang bermarkas di sebuah Kedung sungai, dan dengan kesaktiannya para siluman ini dapat dikalahkan.
Tetapi walopun para siluman uling ini telah dikalahkan air yang keluar dari bendungan tidak selalu lancar, kadang besar dan kadang-kadang kecil bahkan tidak mengalir sama sekali. Setelah di teliti ternyata ada Batang Kayu (Watang) besar yang melintang dan menghalangi aliran air. Berpuluh orang disuruh mengangkat dan memindahkan Watang(Batang Kayu) tersebut namun tidak berhasil.
Akhirnya Bahurekso sendiri yang turun tangan, dan dengan sekali embat patahlahWatang (batang kayu) tersebut. Dan dari peristiwa ngembat watang itulah kemudian terukir nama Batang, yang berasal dari kata ngemBAT waTANG, orang Batang sendiri sesuai dengan dialeknya menyebutnya MBATANG.
 Dalam pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo, menyuruh Raden Bhahu untuk menebang hutan. Guna dijadikan pemukiman. Antara Subah sampai Pekalongan.
Pada saat melaksankan tugasnya untuk menebang hutan, Raden Bhahu (Bhahurekso) berjalan menyusuri sungai, sampai suatu saat beliau tertidur di pinggir sungai karena kelelahan. Pada keesokan harinya air sungai tiba-tiba pasang, beliaupun terbangun dan segera bangun ke tempat yang lebih tingi. Tetapi setelah sampai di dataran yang lebih tinggi, beliau terkejut ketika akan melanjutkan tugasnya untuk menebang hutan, ketika itu pedang yang biasa dibawanya itu hilang. Kemudian beliau mencarinya di pinggir sungai yang waktu itu untuk beristirahat.
Sehari, berhari-hari dan berminggu-minggu sampai hampir satu bulan Raden Bahu mencari pedangnya, tapi pencarian itu sama sekali tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Akhirnya beliau memutuskan untuk menghentikan pencariannya, karena masih banyak tugas yang menanti di pundaknya, sebelum Raden Bahu pergi, beliau memberi nama daerah di sekitar sungai itu dengan sebutan KLIDANG yang berasal dari sebutan kata ( Kali ) dalam bahasa Indonesia yang artinya sungai dan ( Pedang ). Daerah ini berada di sebelah Utara di Kabupaten Batang.
Kaitan legenda Kramat dengan Bhahurekso (pejabat tinggi pada pemerintahan Sultan Agung) dari Mataram 1613 – 1645 M), amat erat dan mendalam sekali, dikemukakan oleh sesepuh adat, di sekitar wilayah Kedunggowok (sebelelah Utara Kedung Dowo) disanalah pernah terjadi peristiwa penting, yaitu awal terjadinya Kabupaten Batang.
Pada waktu itu ajang perjuangan dimaksud, terjadi menjelang masa Sultan Agung (1613 M), yaitu saat Bhahurekso membantu Menteri Pamajengan Sasak Layangsari membasmi perampok pimpinan Drubekso yang mengaku “raja” di wilayah kekuasaannya. Kedua kekuatan tersebut berbenturan, namun jalannya alot dan seimbang sehingga oleh Bhahurekso diibaratkan bagai “ambet – ambetan watang” (mengambat galah). Dari asal ibarat ini, lahir nama Batang dan dipatrikan secara abadi sebagai nama kota serta kabupaten.
Untuk mengenang dan menghayati para pejuang dan perintis Batang tersebut, Bupati pertama Pangeran Adipati Mandurejo, mengadakan tradisi ziarah ke lokasi bekas ajang perjuangan di sekitar Keramat tersebut. Yang diikuti serta dilestarikan masyarakat setempat sampai sekarang.

Di Banyuwerno, desa Wates, kecamatan Wonotunggal terdapat kawasan yang pernah digunakan untuk pertapaan Pangeran Bahurekso dan Raden Sulamjono. Tokoh yang bernama Pangeran Bahurekso ini cukup terkenal dengan kisah legenda di Kabupaten Batang.
 
Pertapan Raden Bahurekso dan Raden Sulamjono Banyuwerno - Batang

Pengeran Bahurekso atau dikenal Ki Bahurekso adalah panglima perang Mataram Islam. Pada abad ke 17 setelah berhasil membuka Alas Roban dan membuat bendungan di Sungai Lojahan, Ki Bahurekso kembali diperintah oleh Sultan Agung Mataram untuk menjemput Dewi Rantan Sari di desa Kalisalak. Dewi Rantan Sari akan diperistri oleh Sultan Agung.
Saat melakukan penjemputan di desa Kalisalak ternyata Dewi Rantan Sari lebih suka kepada Ki Bahurekso, begitu juga Ki Bahurekso suka kepada Dewi Rantan Sari. Dewi Rantan Sari mengancam bunuh diri jika dirinya dibawa menemui Sultan Agung. Akhirnya Ki Bahurekso membawanya kesebuah tempat yang bernama Banyuwerno desa Wates. Konon tempat ini pernah ada goanya namun hingga kini belum ditemukan keberadaannya.
Dewi Rantan Sari mencari air dan menemukan sumber air yang berwarna. Kemudian dia mengambil untuk digunakan membersihkan beras. Akan tetapi berasnya tidak dapat matang saat dimasak. Beras itu kemudian dibuang dan berubah menjadi batu. Atas kejadian itu Dewi Rantan Sari memberitahu Ki Bahurekso. Ki Bahurekso kemudian mandi di belik tersebut dan mendapatkan kekuatan. Mulai kejadian itu Ki Bahurekso menyebut mata air itu Belik Banyuwerno.
Hingga kini dipercaya jika seseorang melihat air yang ada di penampungan Belik Banyuwerno berwarna, maka akan mendapatkan rezeki dalam bentuk keselamatan maupun lainnya.
Raden Sulamjono adalah putra dari Ki Bahurekso dan Dewi Rantan Sari. Raden Sulanjono memiliki kisah asmara dengan Sulasih dari Kalisalak. Namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki Bahureksa. Akhirnya Raden Sulamjono bertapa di Banyuwerno, dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung  melalui alam gaib.
Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantansari atau ibu dari Raden Sulanjono yang memasukkan roh bidadari ketubuh Sulasih. Pada saat itu pula Raden Sulanjono yanng sedang bertapa ditemui oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan antara Sulasih dengan Raden Sulanjono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren Sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci atau ( perawan ).
Hingga kini setiap tanggal 11 Mulud diadakan khoul di Kawasan Pertapan Pangeran Bahurekso dan Raden Sulamjono.

Pada waktu itu Pangeran Bahureksa sedang menyembunyikan Dewi Rantansari disebuah hutan. Sewaktu Dewi Rantansari mau mencari sumber air, disitu ada sumber air yang berwarna - warni. Kemudian ia mengambil air tersebut untuk mencuci  beras, namun setelah beras tersebut dimasak sampai beberapa hari tetapi tidak kunjung menjadi nasi. Beras tadi dibuang dan menjelma menjadi batu, dan batu tersebut diberi nama Batu Beras. Setelah itu Dewi Rantansari melaporkan kepada pangeran Bahureksa akan kejadian tadi, kemudian Pangeran Bahureksa mandi pada sumber air tadi dan mendapatkan daya kelebihan kesaktian yang berlipat ganda. Kemudian pangeran Bahureksa berujar suatu saat nanti tempat itu diberi nama Banyuwerno.
Dan sampai sekarang mata air tersebut kadang menampakkan wujud air yang berwarna-warni ke penduduk setempat. Dan konon katanya jika air tersebut langsung diminum atau dipergunakan untuk mandi, maka akan memperoleh daya magic yang tidak terkira . Banyak orang mempercayai baik dari penduduk lokal maupun dari luar bahwa air tersebut memang bisa membawa berkah dan mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Dan beras yang menjelma menjadi batu tadi sungguh mencengangkan, batu-batu kecil tersebut bisa menempel sangat kuat dengan batu lainnya walaupun tanpa ada semen untuk perekat.
kesenian Sintren bermula dari kisah cinta kasih Raden Sulanjono, atau putra dari Pangeran Bahureksa dengan Dewi Rantansari. Raden Sulanjono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari desa Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Pangeran Bahureksa, akhirnya raden sulanjono bertapa di Banyuwerno, dan Sulasih memilih menjadi penari. Meskipun demikian pertemuan diantara keduanya masih terus berlangsung  melalui alam gaib.

Pertemuan tersebut diatur oleh Dewi Rantansari atau ibu dari Raden Sulanjono yang memasukkan roh bidadari ketubuh Sulasih. Pada saat itu pula Raden Sulanjono yanng sedang bertapa ditemui oleh roh ibunya untuk menemui Sulasih dan terjadilah pertemuan antara Sulasih dengan Raden Sulanjono. Sejak saat itulah setiap diadakan pertunjukan sintren Sang penari pasti dimasuki roh bidadari oleh pawangnya, dengan catatan bahwa hal tersebut dilakukan apabila sang penari masih dalam keadaan suci atau ( perawan ).

Nama Kendal juga tak bisa dipisahkan dari kisah heroik Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal yang pertama. Dalam sejarah Kabupaten Kendal disebutkan, ada seorang pemuda bernama Joko Bahu putra dari Ki Ageng Cempaluk yang bertempat tinggal di daerah Kesesi, Kabupaten Pekalongan. Joko Bahu dikenal sebagai orang yang mencintai sesama dan pekerja keras, hingga Joko Bahu pun berhasil memajukan daerahnya. Atas keberhasilan itulah akhirnya Sultan Agung Hanyokrokusumo mengangkatnya menjadi Bupati Kendal bergelar Tumenggung Bahurekso. Selain itu, Tumenggung Bahurekso juga diangkat sebagai Panglima Perang Mataram pada tanggal 26 Agustus 1628 untuk memimpin puluhan ribu prajurit menyerbu VOC di Batavia. Pada pertempuran 21 Oktober 1628 di Batavia, Tumenggung Bahurekso beserta kedua putranya gugur sebagai Kusuma Bangsa. Dari perjalanan Sang Tumenggung Bahurekso memimpin penyerangan VOC di Batavia pada tanggal 26 Agustus 1628 itulah kemudian dijadikan patokan sejarah lahirnya Kabupaten Kendal.
para pembesar-pembesar kerajaan yang hadir di Kendal pada tahun 1628 M dalam rangka utk persiapan perang melawan Belanda di Batavia, antara lain:
1. Tumenggung Bahurekso
2. Pangeran Purboyo
3. Pangeran Djoeminah
4. Tumenggung Mandurorejo
5. Tumenggung Upashanta
6. Tumenggung Kertiwongso, asal Jepara
7. Tumenggung Wongso Kerto
8. Tumenggung Rajekwesi
9. Raden Prawiro/Pangeran Sambong
10. Pangeran Kadilangu
11. Pangeran Sojomerto
12. Raden Sulamjono, putera Tumenggung Bahurekso
13. Raden Banteng Bahu, putera Tumenggung Bahurekso
14. Kyai Akrobudin
15. Kyai Mojo dan Kyai Sandi, pengawal Pangeran Sambong
16. Tumenggung Begananda
17. Raden Haryo Sungkono
18. Raden Muthohar
19. Tumenggung Pasir Puger
20. Pangeran Karang Anom
21. Pangeran Tanjung Anom
22. Tumenggung Panjirejo
23. Pangeran Puger
24. Tumenggun Singoranu, Patih MAtaram, pengganti Ki Juru Mertani
25. Aria Wiro Notopodo atau Suropodo
26. Tumenggung Wiroguno
27. Raden Bagus Kumojoyo
Dan tentunya masih banyak lagi tokoh-tokoh kerajaan yang hadir dalam pertemuan persiapan perang ke Batavia yg dipusatkan di daerah yg sekarang disebut sebagai KEMANGI.

dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar